Menulis untuk peradaban. Ya. Bagiku
kata-kata ini memiliki makna yang luas dan dalam. Luas berarti ada banyak makna
yang bisa diterjemahkan di sini. Sedangkan dalam berarti aku harus menulis
sesuatu yang konstruktif dan membawa kebaikan, bukan sebaliknya.
Lama aku tercenung memaknai 'menulis
untuk peradaban' ini. Sebab membangun peradaban berarti kita ikut menentukan
arah ke mana suatu masyarakat di bawa. Membangun peradaban artinya kita
memberikan kontribusi dan sumbangsih untuk turut memajukan kebudayaan bangsa.
Adalah kang Tendi Murti dengan
Komunitas Menulis Online-nya (http://kmoindonesia.com) yang menggugahku tentang
ini. Aku menerawang jauh ke belakang, untuk membuktikan bahwa menulis memang
membangun peradaban.
Aku teringat bagaimana Imam Bukhari
(Semoga Allah Merahmatinya), mengumpulkan hadits-hadits dan menghimpunnya dalam
mahakarya beliau yang luar biasa. Ia membutuhkan lebih dari 16 tahun untuk
mengerjakannya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya, bertemu langsung
dengan para penghapal hadits saat itu, menyeleksinya, membandingkan dengan
riwayat yang lain, dan seterusnya, hingga ia menjadi kita hadits yang paling
shahih dan mahsyur sampa kini.
Lihat pula Ibnu Khaldun, bapak
sosiologi dunia. Ia seorang ulama sekaligus ilmuwan yang bukunya menjadi dasar
ilmu sosiologi modern. Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya
membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Ia sangat
menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tergambarkan tanpa
menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan
faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Kitab Muqaddimah,
yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian
muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti
dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu
Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala
sosial dan sejarahnya.
Lihat pula
di negeri kita sendiri. Pada 01 April 1911, Al-Munir, majalah Islam pertama
yang terbit di Minangkabau. Pelopor majalah ini adalah Haji Abdullah Ahmad yang
terinspirasi dari majalah Al-Urwastul Wutsqa yang diinisiasi dan dipimpin oleh
seorang pembaharu Islam, Syekh Djamaluddin Al-Afghani di Paris – Prancis.
Ini adalah
sekelumit bukti bahwa benar adanya, menulis memang membangun peradaban. Karena memang
pondasi kehidupan kita berasal dari kitab-kitab yang ditulis oleh para
ulama-ulama kita.
Pertanyaan
besar bagi kita, dapatkah kita mengikuti jejak-jejak mereka yang harum ini? Inilah
yang mesti diresapi. Inilah yang mesti dipikirkan secara mendalam jika hendak
membuat tulisan yang memberikan sumbangsih dalam membangun peradaban.
Sebab,
lihatlah kini. Para perusak juga turut menuliskan ide-ide liar mereka, yang
menjadi ‘bom waktu’ dalam peradaban kita. Banyak karya mereka yang bersifat
dekonstruktif dengan dalih kebebasan. Dengan itu pula, mereka menjual
ide-idenya, yang dipoles sedemikian rupa agar ia laku dibaca.
Jika ini
yang kita hadapi, maka boleh jadi niat menulis berarti berniat jihad. Sebab kita
berperang melawan opini orang lain yang merusak. kita berperang melalui pena,
untuk mereversi umat yang juga kini tengah dilanda degradasi moral, akibat
miskinnya pemahaman akan nilai-nilai kebaikan yang tertanam dalam ajaran agama
kita.
Menulis untuk peradaban, berarti menebarkan nilai-nilai kebaikan untuk membuat kita tetap beradab, dalam adab-adab agama kita.
Yuk menulis!
Kereeen 👍
BalasHapusTrims mba ^_^
HapusMasih harus banyak belajar lagi.
Trims mba ^_^
HapusMasih harus banyak belajar lagi.